Sabtu, 24 Desember 2011

Menulis sebagai panggilan Suci


                                              MENULIS SEBAGAI PANGGILAN SUCI

Apa yang di maksud dengan menulis? Menulis merupakan suatu aktifitas, coretan tinta yang menuangkan segala hal yang kita pikirkan.
Sering kali kita menutup mata dan tidak mau mendengar akan realita yang terjadi sehingga tidak ada satupun tindakan yang dilakukan untuk merubah paradigma yang ada. Di era globalisasi saat ini, pengaruh media sangatlah besar untuk menghipnotis masyarakat dan mengarahkannya ke jalan yang mereka sukai (pelaku media) sesuai dengan kebutuhan yang akan mereka capai. Saat ini kita terlalu dimanjakan dengan tekhnologi yang serba instan, semua aktifitas bisa diselesaikan dengan waktu yang relatif cepat dan apakah kita sudah memanfaatkan fasilitas yang ada dengan baik?
Sangat disayangkan memang, melihat fakta yang terjadi pada generasi bangsa sekarang ini,  seperti yang dikabarkan berita harian BANDUNG, KOMPAS.com - Kepala Balai Bahasa Bandung  Abdul Khak mengatakan, tradisi menulis di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tradisi membaca, terlebih di kalangan generasi muda. Rendahnya tradisi menulis, menurut Abdul, akibat rendahnya minat membaca. Kualitas dan kemampuan menulis mahasiswa saat ini cenderung rendah. Ini juga membuktikan bahwa, minat membaca mahasiswa sekalipun rendah,"
‘‘Minat membaca saja sebenarnya masih rendah. Bayangkan, minat menulis justru berada di bawah minat membaca. Ini tentunya sangat mengkhawatirkan,’’ kata  Abdul Khak, Rabu (23/11/2011), di Bandung, Jawa Barat.[1]

Apabila kita tidak dihadapkan pada suatu masalah, memungkinkan kita takkan tersadar untuk kembali memegang teguh pedoman hidup yang telah Allah berikan, dan panggilan suci Allah dalam firman-Nya...
Katakanlah Muhammad, “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).’’ (Q.S. Al-Kahfi:109)
Manusia adalah makhluk yang sempurna dalam penciptaan-Nya, Allah menganugerahkan akal yang menjadikan derajat manusia lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dari ayat itu pulalah saya kemudian berfikir, bahwa menulis memang sudah dijadikan sebagai fitrah dan panggilan hidup tiap manusia demi eksistensinya.
Berbanding terbalik dengan masa-masa para pendahulu kita, dengan segala keterbatasan yang ada tidak membuat mereka berputus asa bahkan keadaan seperti itu memotivasi untuk terus berkarya. Tapi, saya membayangkan yang lebih ekstrim lagi, apa jadinya bila ilmu kedokteran tak diikat oleh Ibnu Sina dalam karyanya Al-Qanun fi at-Tibb ? Karyanya yang terkenal itu sampai sekarang dijadikan buku pedoman kedokteran bagi universitas di Eropa dan negara-negara Islam. Dalam ilmu perbintangan Jabir al-Batany, pencipta alat teropong bintang yang pertama dan karyanya yang terkenal Kitabu Ma’rifati Matlil-Buruj baina Arba’il-Falaq. Dalam ilmu pasti (Riyadiyat) Umar Khayam, karyanya tentang aljabar yang berjudul Treatise on al-Gebra telah diterjemahkan oleh F.Woepcke ke dalam Bahasa Perancis (Paris 1857). Aljabar karya Umar Khayam ini lebih maju dari aljabar karya Euklides dan Al-Khawarizmi.[2]
Itulah sebagian para tokoh Islam yang berperan penting pada masa Dinasti Abbasiyah, pada masa itu merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.    
Sama halnya dalam sejarah diceritakan, Umar bin Khaththab r.a merasa risau karena banyaknya kaum muslimin yang hafal Al-Qur’an, gugur di medan pertempuran. Yakni ketika terjadi di masa Khalifah Abu Bakar r.a pada perang Ridda. Karena dilanda kekhawatiran itulah, Umar bin Khaththab lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang tersebar di antara para Sahabat. Zaid bin Tsabit r.a yang ditunjuk sebagai koordinator pelaksana tugas tersebut, setelah beliau merampungkan menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf, kemudian hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpannya hingga beliau wafat, sebelum kemudian mushaf tersebut berpindah tangan kepada Umar bin Kaththab yang menjabat sebagai Khalifah penerusnya. Selanjutnya, mushaf dipegang oleh anaknya, Hafsah, yang juga istri Nabi Muhammad saw., sebelum akhirnya Al-Qur’an distandarkan penulisannya dalam mushaf Utsmani.[3]
Demikian secuplik sejarah sebagai pengantar sekaligus penekanan bahwa menulis itu betul-betul perlu! Diperlukan untuk mengikat ilmu, sebagaimana ungkapan Ali bin Abi Thalib r.a, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”
Paradigma takut akan menulis, itu bukan zamannya lagi. Janganlah kita takut untuk menulis dan memulainya! Allah telah memenuhi segalanya, dan tiba saatnya kita untuk memanfaatkan sebaik mungkin apa yang telah Allah berikan. Ketika kita  akan memulai menulis, jangan terlalu terpaku dengan tulisan para penulis yang kualitasnya sudah tak diragukan lagi, jadikanlah para penulis itu sebagai panutan untuk memotivasi kita akan menulis dan jangan dijadikan sebagai rival kita karena itu hanya akan membuat pusing diri sendiri sehingga akan mematahkan motivasi untuk menulis.
            Paling realistis bagi penulis pemula adalah seperti yang dikatakan oleh Kuntowijoyo. Ia bersaran, jika seseorang ingin menjadi penulis, maka cukup mulai saja menulis, baru selanjutnya lanjutkan menulis, kemudian ulangi lagi menulis. Enak toh? Mantep toh? Tuangkan apa saja yang kita mau dan jangan sekali-kali memerhatikan terlebih dulu EYD serta segala macam tetek bengek aturan menulis. Itu saja intinya.
Nah, untuk memulainya, tulis hal-hal yang dekat dengan kita. Entah itu berupa perasaan yang sedang dialami, atau segala permasalahan yang sedang mencuat di sekitar. Hal ini bisa dilakukan dengan cara membuat catatan atau bahkan buku harian. Dengan demikian, kebiasaan seperti itu dapat berfungsi agar seseorang dapat melatih kepekaan dalam menggunakan pilihan kata yang dituliskan.
Terkadang, kata yang paling sederhana adalah yang paling indah, juga paling efektif.” (Robert Cormier) 
Inspirasi dan eksplorasi ide menulis
Seringkali di sini letak biang keladinya. Seringkali saya mendapat keluhan tentang bagaimana caranya memunculkan ide menulis, sebab, ketika seseorang kehilangan inspirasi, biasanya berakibat pada berhentinya aktivitas menulis.
Maka hendaknya hal itu tidak dijadikan beban. Mencari inspirasi sebenarnya tak sesulit seperti yang kita bayangkan. Karenanya, kamu tak perlu melakukan ritual-ritual bid’ah untuk memunculkan inspirasi, tak perlu bertapa sembari menjalankan puasa-puasa sesat dan melurung sesaji. Sebab inspirasi dapat diperoleh dari apapun yang ada di sekitar kita.
Memunculkan inspirasi tidak seperti jelangkung yang datang tak dijemput pulang tak diantar, ia bisa diraih dengan cara diciptakan, bahkan dengan cara melihat hal-hal yang paling sederhana. Inspirasi bahkan dapat muncul di segala tempat seperti misalnya pegunungan, taman, hutan, bahkan juga…jamban!
Ada banyak hal yang dapat ditulis yang beberapa di antaranya adalah segala sesuatu yang menarik perhatian kita: hal-hal umum yang berkesan, sesuatu unik yang jarang ditemukan, sampai kemudian fenomena-fenomena masyarakat dan isu-isu politik yang sedang berkembang.
Tinggal sekarang masalahnya, seringkali ketika kita sudah mulai menuliskan ide yang ada di kepala, ternyata di tengah-tengah jalan mengalami deadlock, terkunci mati untuk mengembangkan. Dalam hal ini, Joan Didion membuat diagnosa, “Yang menyebabkan kalimat pertama begitu sulit adalah karena Anda terpaku padanya.” Sedangkan selebihnya, lanjutnya, “Semua yang lain akan mengalir dari kalimat itu.”
Termasuk satu hal yang jarang disadari adalah, sikap tergesa-gesa untuk mengedit naskah atau draft pertama sebelum beres ide tertuang seluruhnya. Sebab seringkali sesudah menyibukkan diri mengedit kalimat-kalimat sebelumnya, kemudian otak yang sebelumnya berjubel ide cemerlang mendadak buyar seperti kawanan rusa yang tiba-tiba mengendus keberadaan serigala.
Maka benarlah apa kata John Steinbeck. Ia berpetuah, “Menulislah dengan bebas dan secepat mungkin, dan tuangkan semuanya ke atas kertas.” Kemudian tak lupa ia mewanti-wanti dengan mengeluarkan ‘fatwa’ garis keras, “Jangan sekali-kali melakukan koreksi atau menulis ulang sebelum semuanya habis Anda tuliskan!”
Mengapa seorang penulis ditekankan untuk menghindari pantangan mengedit sebelum naskah selesai? Sebab, dapat dipastikan akan membuat stamina menulis banyak terkuras di tengah jalan. Napas keburu ngos-ngosan sebelum mencapai garis finish, lalu membuyarkan ide yang sebelumnya ingin semua dikeluarkan. Maka bukan tidak mungkin, ia akan tewas di tengah jalan. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun...
That’s it! Menulislah seperti serigala buas, menulislah seperti kencang larinya copet, menulislah seperti pelaku illegal logging yang membabat kayu di hutan-hutan Kalimantan, atau kalau boleh saya sebut perumpamaan paling ekstrim, menulislah seperti larinya bencong-bencong yang terkena razia Satpol PP.
Dengan demikian, sesudah naskahmu tuntas, barulah review dan edit tulisanmu yang –masya Allah- kacau balau itu. Hahaha, don’t take it personal.
Berikut ini akan saya paparkan beberapa ramuan untuk mengasah memunculkan dan mengembangkan ide menulis.
1.   Perbanyak membaca
      Jangan katakan kamu kurang (tidak) suka membaca lantas memimpikan jadi penulis   papan atas. Itu ngimpiii! Ngimpi dalam arti yang sebenarnya. Saya hanya ingin sampaikan kepadamu seperti ini: jika kamu saja tidak bisa menghargai tulisan orang lain (dengan membacanya), lantas bagaimana orang lain kamu harapkan untuk menghargai tulisanmu? Tapi yang pasti, dan tak bisa dipungkiri, bahwa membaca merupakan salah satu hal yang menjadi “harga mati” untuk menambah wawasan dan mengasah intelektual.
2. Sering interaksi dan sharing/berdiskusi
    Tak kalah pentingnya, diskusi akan menambah pula banyak wawasan. Bahkan kelebihannya, dengan sharing atau diskusi, kita dapat mengomunikasikan, membandingkan, mengklarifikasikan bahkan memperdebatkan pengetahuan secara langsung. Begitupun dengan interaksi atau silaturrahim, ia bahkan dapat memperpanjang umur dan meluaskan rizqi.
3. Mengikuti perkembangan isu-isu mutakhir
    Sekali lagi ini penting. Fungsinya, agar otak kita tidak seperti museum jaman pra-sejarah, tidak seperti manusia pedalaman yang masih pakai koteka, agar otak kita tidak gagap oleh perkembangan informasi. Ada banyak media yang dapat memudahkan kita untuk membuntuti perkembangan informasi mulai dari elektronik, cetak, hingga online.
4. Menghadiri forum-forum ilmiah
    Ini penting juga. Banyak wawasan intelektual yang akan kita dapat dari forum ini. Seperti misalnya seminar, talk show, bedah buku, sampai pula halaqah atau liqa’.
5. Menjadi peneliti kecil-kecilan
    Nah, ini baru penting namanya. Hahaha, perasaan bosen banget dari tadi bilang penting mulu. Well, resep ini akan menjadikan tulisanmu lebih berbobot, sebab, menulis memang tidak saja mengasah keterampilan menggunakan kata-kata, tapi juga harus lihai dalam akurasi data. Jadi tidak hanya piawai memainkan dan mengolah kata saja, tetapi juga memiliki referensi dan informasi yang berbobot di dalamnya.
6. Jadikan blog sebagai hobi
    Tak lain fasilitas ini sebagai sarana untuk memacu kita terus berkarya. Udah itu aja, nggak usah panjang-panjang!
7. Lebih bagus dengan mengikuti lomba-lomba menulis
    Sebab ia dapat memompa semangat untuk bersaing menciptakan karya yang terbaik.
8. Ibadah
    Nah, apa pula ini hubungannya? Hmm, pasti ada. Sekurang-kurangnya, dengan beribadah maka akan dapat menyegarkan dan menyucikan hati kita. Maka dengan kondisi itu akan mudah memunculkan inspirasi. That’s all.
Nah, bila memang menulis adalah panggilan suci yang telah Allah perintahkan, bisa dong kita samakan dengan sebuah gaya hidup. Alasannya? Yeah, kembali pada orientasi. Menjadikan writing oriented selevel dengan kala kita berbicara, berinteraksi dan bergaul secara oral, dapat memaksa otak untuk membentuk sistem baru, yaitu sistem menulis. Mengutip tulisan di buku Mahir Menulis karya Mudrajad Kuncoro:
Tiada hari tanpa menulis perlu dijadikan sebagai kebiasaan baru yang menyenangkan. Misalnya ketika harus menunggu berjam-jam di bandara karena pesawat ditunda, gunakan kesempatan untuk menulis. Dalam perjalanan dari Yogya ke Jakarta, yang hanya sekitar 50 menit, penulis sering menyelesaikan satu artikel opini atau kolom.
Ok lah, bila memang orientasi bisa menjelma menjadi sebuah gaya, atau style, kita balik lagi ke hal yang paling penting dalam proses menulis, yaitu: untuk apa menulis?
Saya lihat orang-orang ber-twitter dan facebook dengan Blackberry, ada yang mengecat rambut warna-warni, dandan ala harajuku, ada lagi yang memakai t-shirt bertuliskan Bloggers Have More Fun Than People Do, dan masih banyak lagi aksi-aksi yang lain, what actually are they doing? Mengirim pesan, itu yang dilakukan. Dengan kata lain, gaya hidup diterjemahkan dengan bermacam cara agar dunia melihat keberadaan mereka.
Begitu pun menulis. Yang jika dikembalikan ke pertanyaan: untuk apa menulis; Gol A Gong dalam bukunya yang berjudul Jangan Mau Gak Nulis Seumur Hidup bertutur…
Sebelum menulis kita harus sudah paham mengapa kita menulis dan untuk apa kita menulis. Ada yang tujuannya untuk popularitas, mengejar materi, politik atau sekedar mengisi waktu. Tidak apa-apa. Bebas saja. Yang penting tahu tujuannya apa.[4]
‘‘Menulis itu bukan menulis, tetapi membaca, Menulis itu bukan menulis, tapi menentukan premis.’’ (Iwan Piliang)
Maksudnya kita takkan mungkin bisa menulis, bila memory otak kita kosong..berarti kita harus membaca dulu, membaca apapun, baik buku ataupun dari kehidupan. 
Menulislah karena yang Allah ciptakan pertama kali pun adalah pena. Menulislah karena ketentuan Sllah (takdir) pun didokumentasikan-Nya dengan pena. Menulislah karena Allah pun mengajari manusia melalui pena. Menulislah karena amal kita pun ditulis malaikat dengan pena.
Menulislah karena dengan tulisanlah para ulama ‘‘mengabadikan’’ dan menyebarkan ilmunya. Menulislah karena Al-qur’an dan hadits pun terdokumentasi dengan baik dengan tulisan. Menulislah karena...(masih banyak alasan dan kebaikan menulis lainya)
‘‘Sesungguhnya pertama kali yang diciptakan Allah SWT adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya: ‘‘Tulislah!” Pena itu menjawab ‘‘Ya Tuhanku, apa yang mesti aku tulis? Maka Allah berfirman: ‘‘Tulislah ketentuan segala sesuatu sampai datang hari kiamat’’(HR.Ahmad dan Abu Dawud).
Eksistensi pena (al-qalam) ditegaskan dalam Qs.Al-Qalam ‘‘Nun demi pena dan yang telah mereka tulis’’ (Qs. Al-Qolam: 1) Pena menjadi perantara Allah SWT dalam mengajarkan manusia. ‘‘Bacalah dan Tuhanmulah yang mengajarkan dengan perantaraan pena. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahui manusia’’(Qs.Al-Alaq: 3-5).
‘‘Yang demikian itu merupakan sumpah dari Allah Ta’ala sekaligus peringatan bagi makhluk-Nya atas apa yang telah Dia anugerahkan kepada mereka, berupa pengajaran tulis-menulis yang dengannya ilmu diperoleh’’(Tafsir Ibnu Katsir).[5]     
So, let’s work now! Yuk, kita jadikan menulis sebagai panggilan suci yang telah Allah perintahkan karena itu, kita akan lebih semangat untuk menulis keep fighting!.

Happy writing!

 

























































































































































































































































































































[1] bandungkompas.com
[2] Islam pada masa klasik
[3] darinholic.com
[4] annida-online.com
[5] baticnews.com